Selasa, 23 Februari 2010

Tentang FitraDjaja Purnama

Penulis: Dhodhott Markodhott1,2
Begitu mendengar nama Fitrajaya Purnama (untuk selanjutnya disingkat FP) diusung oleh forum Konsolidasi Arek Suroboyo sebagai calon walikota melalui jalur independen, penulis langsung menangkap secercah cahaya kemajuan bakal terpancar di ufuk kota Surabaya tercinta, apabila FP terpilih menjadi walikota nantinya. Secara pribadi, penulis mengenal FP sebagai sosok yang teguh memegang idealisme. Kepekaan serta keberpihakan beliau kepada rakyat kecil, sudah begitu terasah melalui berbagai aktivitas sejak beliau mengenyam pendidikan di jurusan Teknik Mesin ITS. Di kampus perjuangan inilah ‘karir politik’ beliau dimulai. Salah satu pencetus ide pendirian Senat Mahasiswa ITS di tahun 1993 ini begitu giat menyuarakan perlunya pembaharuan pada sistem kepemimpinan nasional sejak awal 90 an. Di tengah ancaman keselamatan diri pun, beliau tidak pernah surut memperjuangkan reformasi total di bumi Indonesia dan sebagai titik kulminasi adalah tumbangnya rezim orde baru di tahun 1998, dimana FP turut serta berperan serta aktif sebagai salah satu aktivis ’98.

Menilik sebagian rekam jejak FP, maka penulis sangat meyakini kalau ketidakpuasan FP terhadap birokrasi pemerintahan yang ada saat inilah, yang menggugah beliau untuk mengambil peran aktif dalam dunia birokrasi. Penulis sangat bisa merasakan, bahwa kata 'reformasi' hanyalah dijadikan sebagai penghias dalam praktek pemerintahan sehari-hari. Para birokrat kota Surabaya, dirasa sudah melupakan hakikat sebenarnya dari reformasi itu sendiri. Hal inilah yang menjadikan FP ingin berbuat lebih, dengan cara terjun langsung ke dalam sistem birokrasi itu sendiri. Sebab, hanya dengan cara ikut mencalonkan diri sebagai walikota Surabaya dan tentu dengan harapan bisa terpilih nantinya, keinginan untuk tetap berjalan lurus di jalur reformasi di segala bidang untuk kesejahteraan rakyat, bisa tetap bisa terjaga. Berlatar belakang segudang pengalaman berorganisasi ditunjang kematangan dalam berpikir logis serta kedekatan dan kepekaan beliau terhadap rakyat kecil, rasanya tidak mungkin bagi penulis untuk tidak mengakui kemampuan managerial seorang FP untuk dihadapkan pada tantangan mengelola kota metropolis sebesar Surabaya tercinta. Kemampuan FP sangat dibutuhkan guna mewujudkan cita-cita Surabaya untuk bisa berdiri sama tinggi dengan kota-kota besar lain di dunia.


Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, menyebut kata Surabaya mungkin akan langsung berkonotasi dengan PERSEBAYA. Sama halnya apabila kita menyebut, misalnya, kota Manchaster di Inggris. Tentu yang segera melintas di benak kita adalah klub Manchaster United, tempat David Beckam dan Erick Cantona pernah merumput. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sepakbola sudah sedemikian merakyatnya, meskipun secara umum sepakbola Indonesia masih belum menunjukkan prestasi yang membanggakan. Membicarakan persepakbolaan di Indonesia umumnya dan PERSEBAYA khususnya adalah sesuatu yang sangat unik, apabila tidak boleh disebut aneh. Keunikan paling mendasar adalah dari jajaran pengurus klub. Hampir semua pengurus klub sepak bola yang terlibat pada kompetisi Liga Indonesia (baca: kompetisi sepakbola profesional di Indonesia) adalah pengurus teras partai-partai politik. Tentu, hal ini menjadikan klub-klub sepakbola menjadi tidak mempunyai kemerdekaan alias rawan akan praktek-praktek politik praktis. Sepakbola lengkap beserta para pendukungnya adalah sebuah kekuatan masa yang sangat masif, yang sanggup menjadikan semuanya terjadi, apabila sudah ditunggangi oleh kepentingan politik sesaat. Efek jangka panjangnya, tentu saja jangan berharap prestasi yang maksimal bisa dicapai, melalui pola pengelolaan semacam ini.


Adanya pencampur-adukan kepentingan politik dalam pengelolaan sepakbola profesional di tanah air tidak bisa dilepaskan begitu saja dari 'dosa kesalahan' pengurus PSSI di masa lampau. Kita ketahui bahwa pada tahun 1994, PSSI memutuskan untuk melebur kompetisi antara dua kubu pembinaan sepakbola kala itu: klub-klub perserikatan (amatir) yang tergabung dalam kompetisi divisi utama dan klub-klub (semi) profesional yang tergabung dalam kompetisi galatama, dilebur menjadi satu dalam bentuk kompetisi LIGINA.

Suatu proses pembinaan adalah suatu proses yang berjenjang dan mengarak ke satu tujuan. Untuk sebuah proses pembinaan yang berjenjang, klub-klub (semi) profesional semacam Niac Mitra (Mitra Surabaya), Warna Agung, Yanita Utama, Pardedetex dan sebagainya, adalah muara tujuan bagi pemain sepakbola di klub-klub perserikatan. Bisa diibaratkan, klub perserikatan adalah SMU nya pemain bola, sedangkan klub (semi) profesional adalah universitasnya para pemain bola. Sebagai siswa SMU, tentu masih menggantungkan uang saku sepenuhnya dari sang orang tua, namun seorang mahasiswa, sudah mempunyai kemampuan untuk mencari pendapatannya sendiri dengan bekerja sambilan, sebagai pengajar privat misalnya. Anggapan umum pun berlaku bahwa setiap siswa SMU, tentu ingin memasuki universitas, namun sebaliknya, seorang mahasiswa tentu enggan kalau diminta kembali ke bangku SMU. Hal seperti inilah yang sebaiknya terus dikembangkan pengurus PSSI kala itu. Sehingga kedua kubu pembinaan tersebut bisa saling mengisi dan menunjang. Keberadaan klub perserikatan diharapkan menjadi 'pabrik bahan baku pemain' bagi klub (semi) profesional. Dalam bahasa sehari-hari bisa dianalogikan: makin baik (favorit) sebuah SMU, tentu akan menghasilkan luaran yang sangat berkualitas sebagai masukan sebuah universitas. Ujung dari proses berjenjang ini tentu menaiknya kualitas timnas Indonesia.

Pengelola klub-klub (semi) profesional adalah para penggiat bisnis yang berusaha untuk menghidupkan klub nya secara mandiri dengan dukungan sponsor. Di lain pihak, klub-klub perserikatan semacam PERSEBAYA, PERSIJA, PERSIB dan PER-PER yang lain, sepenuhnya ditunjang pemerintah daerah dalam segi pendanaan (melalui APBD tentunya). Dengan dileburnya kedua macam sistem kompetisi yang 'beda mahzab' ini, tentu menimbulkan kerancuan. Ironisnya, sejak kali pertama LIGINA digulirkan pada periode 1995 sampai dengan periode kompetisi kali ini (15 tahun berjalan), masih banyak ditemukan klub-klub yang menggantungkan dana APBD sebagai pemasukan utamanya, dimana hal ini jelas menyalahi aturan yang ada. Sungguh tidak sesuai dengan label 'profesional' yang melekat pada kompetisi Liga Indonesia saat ini. Dengan masih adanya unsur APBD untuk pembiayaan klub sepakbola saat ini, tentu menjadikan klub tersebut rawan akan campur tangan politik penguasa dan tentu saja, menjadikan klub tersebut tidak layak untuk disebut sebagai klub profesional. Hal ini pula lah yang kemungkinan besar menjadi penyebab tidak kunjung membaiknya prestasi tim nasional Indonesia di level ASEAN sekali pun. Sebagai gambaran perbandingan (yang mungkin kurang relevan), Jepang memulai memutar liga profesional nya pada tahun 1992, dengan kesungguhan penuh berhasil menembus babak 16 besar pada piala dunia tahun 2002, sebelum akhirnya dikandaskan Turki (0-1).

Lupakan 'dosa masa lalu' pengurus PSSI ini, marilah kita anggap bahwa apa yang ada saat ini, adalah sebuah permulaan untuk menuju perbaikan prestasi. PERSEBAYA adalah salah satu klub yang sedang mengikuti kompetisi sepakbola profesional dengan label Liga Indonesia. Munculnya FP, pria yang dilahirkan 40 tahun yang lalu ini, sebagai kandidat walikota Surabaya, sangat penulis harapkan bisa membebaskan PERSEBAYA dari segala macam praktek politik praktis dan menjadikan PERSEBAYA sebagai proyek percontohan di Indonesia tentang bagaimana sebaiknya klub sepakbola profesional dikelola. Melalui jalur independen, tentu FP akan lebih leluasa memberikan sentuhan kebebasan kepada PERSEBAYA dan menjadikan PERSEBAYA sebagai titik balik kebangkitan persepakbolaan Surabaya.
Kebangkitan persepakbolaan Surabaya hanya dapat diraih melalui pembinaan berjenjang yang terstruktur dan terprogram secara rapi. Metode 'jual-beli pemain' hendaknyalah dijadikan sebagai menu tambahan. Apabila PERSEBAYA benar menjelma menjadi klub profesional, maka tidaklah terlalu sulit untuk mencari bibit pemain. Kompetisi antar klub anggota PERSEBAYA (Assyabab, Indonesia Muda, Sasana Bhakti, Suryanaga, dsb nya) yang ada selama ini bisa dijadikan suatu awalan. Adalah kewenangan FP melalui dinas olar-raga, apabila terpilih menjadi walikota nantinya, untuk mendelegasikan kewenangan pengurusan klub anggota PERSEBAYA secara lebih terstruktur yang tentunya, sudah bebas dari campur tangan PERSEBAYA pula (posisi PERSEBAYA saat itu adalah sebagai klub yang benar-benar profesional). Selain itu, terpilihnya FP, sangat diharapkan untuk bisa kembali menghidupkan ajang kompetisi amatir semacam PORSENI, Liga Mahasiswa ataupun GALA KARYA, menjadi salah satu sarana pencetak bibit pemain sepakbola handal. Momentum hari olahraga nasional (HAORNAS), yang jatuh pada tanggal 9 September, juga bisa digunakan sebagai salah satu sarana pemicu.

Tidaklah terlalu berlebihan apabila kita berkeinginan untuk menjadikan PERSEBAYA sebagai proyek percontohan pengelolaan sepakbola profesional di Indonesia. Sejarah sepakbola Indonesia mencatat bahwa di kota Surabaya, pernah lahir sebuah klub sepak bola profesional ber-reputasi internasional. Niac Mitra nama klub tersebut. Klub yang dimiliki oleh Agustinus Wenas ini pernah mencatatkan diri sebagai juara Aga Khan Cup di Bangladesh pada tahun 1979, di bawah arahan pelatih M. Basri. Bahkan Dullah Rahim tercatat sebagai pemain terbaik dalam turnamen tersebut. Di kancah domestik, Niac Mitra juga pernah mencatatkan sebagai juara galatama dalam tiga periode kompetisi. Pada tanggal 17 Juni 1983, Niac Mitra bersama Fandi Ahmad dan David Lee (keduanya pemain asal Singapura) membelalakkan mata penggemar sepakbola di tanah air. Saat itu, Niac Mitra menjadi satu-satunya tim yang berhasil mengkandaskan Arsenal (yang kala itu diperkuat Alan Sunderland) dalam lawatannya ke Indonesia. Dua gol yang dilesakkan Fandi Ahmad dan Djoko Malis membuat banyak pengamat sepakbola Indonesia menganggap bahwa Niac Mitra jauh lebih hebat dari tim nasional Indonesia sekali pun.

Rasanya FP tidak perlu ragu lagi, untuk memasang target menjadikan PERSEBAYA sebagai yang terbaik di Indonesia (bahkan dunia). Sejarah panjang sepakbola Surabaya juga pernah mencatat nama-nama semacam Chin Hoat (pesepakbola Surabaya keturunan Tionghoa) menjadi andalan tim nasional Hindia Belanda (NIVB) di Olimpiade Timur Jauh di Manila tahun 1934. Bahkan, nama-nama seperti The San Liong, Beng Ing Hien dan Phoa Sian Liong (kesemuanya warga Surabaya dan pesepakbola keturunan Tionghoa) pernah menjadi pemain timnas Indonesia ketika menahan Uni Soviet 0-0 di babak perempat final olimpiade 1956 di Melbourne (http://sejarahtakberubah.blogspot.com).

Selain menyuratkan gemilangnya prestasi pesepakbola Surabaya di masa lampau, dimana saudara keturunan Tionghoa ikut berperan aktif di dalamnya, paragraf di atas juga menyiratkan betapa majemuk nya persepakbolaan Surabaya kala itu. Seakan-akan tidak ada perbedaan dalam semua hal antara warga asli dan warga keturunan untuk bersama-sama berjuang membesarkan nama Surabaya melalui jalur sepakbola.

Penulis juga sangat berharap bahwa FP, yang juga dikenal sebagai sosok pengagum bapak pluralisme Indonesia- Gus Dur, bisa kembali mewujudkan peran serta aktif warga keturunan dalam membesarkan nama PERSEBAYA. Penulis pun sangat yakin akan potensi besar yang ada pada diri saudara kita, warga keturunan Tionghoa, dalam bidang olah raga. Paling tidak, Surabaya mencatatkan nama warganya Goei Ren Fang (atau dikenal sebagai Alan Budikusuma), sebagai peraih medali emas olimpiade untuk cabang bulu tangkis. Penulis sangat yakin, bahwa sosok FP, akan mampu menghilangkan perbedaan antara pribumi dan non-pribumi yang kerap masih dirasakan dalam berbagai sendi kehidupan, utamanya dalam persepakbolaan. Sehingga, semangat dari kampanye FIFA, let’s kick racism out of Football, bisa benar-benar dirasakan. Saat ini, kita masih merasakan (berdasarkan pengalaman pribadi penulis) ketika pertandingan sepakbola akan digelar di Stadion Tambaksari, banyak saudara kita warga Tionghoa yang berada di sekitar stadion, terpaksa menutup tokonya jauh lebih awal, karena merasa keamanan jiwa dan harta-bendanya terancam. Semoga, dengan terpilihnya FP, hal ini tidak lagi terjadi.

Demikian, tulisan sederhana ini penulis buat sebagai ungkapan atas harapan tinggi penulis akan terpilihnya FP sebagai walikota Surabaya. Sebagai salah satu warga Surabaya, penulis sangat berharap agar nantinya FP (jika terpilih) bisa tetap berjalan di jalur rakyat serta mampu mewujudkan impian “PERSEBAYA towards world-class quality”

1 Arek Tambaksari.
2 Research fellow at the Disaster Prevention Research Institute, Kyoto University, Japan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

®;

Tentang FitraDjaja Purnama

Penulis: Dhodhott Markodhott1,2
Begitu mendengar nama Fitrajaya Purnama (untuk selanjutnya disingkat FP) diusung oleh forum Konsolidasi Arek Suroboyo sebagai calon walikota melalui jalur independen, penulis langsung menangkap secercah cahaya kemajuan bakal terpancar di ufuk kota Surabaya tercinta, apabila FP terpilih menjadi walikota nantinya. Secara pribadi, penulis mengenal FP sebagai sosok yang teguh memegang idealisme. Kepekaan serta keberpihakan beliau kepada rakyat kecil, sudah begitu terasah melalui berbagai aktivitas sejak beliau mengenyam pendidikan di jurusan Teknik Mesin ITS. Di kampus perjuangan inilah ‘karir politik’ beliau dimulai. Salah satu pencetus ide pendirian Senat Mahasiswa ITS di tahun 1993 ini begitu giat menyuarakan perlunya pembaharuan pada sistem kepemimpinan nasional sejak awal 90 an. Di tengah ancaman keselamatan diri pun, beliau tidak pernah surut memperjuangkan reformasi total di bumi Indonesia dan sebagai titik kulminasi adalah tumbangnya rezim orde baru di tahun 1998, dimana FP turut serta berperan serta aktif sebagai salah satu aktivis ’98.

Menilik sebagian rekam jejak FP, maka penulis sangat meyakini kalau ketidakpuasan FP terhadap birokrasi pemerintahan yang ada saat inilah, yang menggugah beliau untuk mengambil peran aktif dalam dunia birokrasi. Penulis sangat bisa merasakan, bahwa kata 'reformasi' hanyalah dijadikan sebagai penghias dalam praktek pemerintahan sehari-hari. Para birokrat kota Surabaya, dirasa sudah melupakan hakikat sebenarnya dari reformasi itu sendiri. Hal inilah yang menjadikan FP ingin berbuat lebih, dengan cara terjun langsung ke dalam sistem birokrasi itu sendiri. Sebab, hanya dengan cara ikut mencalonkan diri sebagai walikota Surabaya dan tentu dengan harapan bisa terpilih nantinya, keinginan untuk tetap berjalan lurus di jalur reformasi di segala bidang untuk kesejahteraan rakyat, bisa tetap bisa terjaga. Berlatar belakang segudang pengalaman berorganisasi ditunjang kematangan dalam berpikir logis serta kedekatan dan kepekaan beliau terhadap rakyat kecil, rasanya tidak mungkin bagi penulis untuk tidak mengakui kemampuan managerial seorang FP untuk dihadapkan pada tantangan mengelola kota metropolis sebesar Surabaya tercinta. Kemampuan FP sangat dibutuhkan guna mewujudkan cita-cita Surabaya untuk bisa berdiri sama tinggi dengan kota-kota besar lain di dunia.


Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, menyebut kata Surabaya mungkin akan langsung berkonotasi dengan PERSEBAYA. Sama halnya apabila kita menyebut, misalnya, kota Manchaster di Inggris. Tentu yang segera melintas di benak kita adalah klub Manchaster United, tempat David Beckam dan Erick Cantona pernah merumput. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sepakbola sudah sedemikian merakyatnya, meskipun secara umum sepakbola Indonesia masih belum menunjukkan prestasi yang membanggakan. Membicarakan persepakbolaan di Indonesia umumnya dan PERSEBAYA khususnya adalah sesuatu yang sangat unik, apabila tidak boleh disebut aneh. Keunikan paling mendasar adalah dari jajaran pengurus klub. Hampir semua pengurus klub sepak bola yang terlibat pada kompetisi Liga Indonesia (baca: kompetisi sepakbola profesional di Indonesia) adalah pengurus teras partai-partai politik. Tentu, hal ini menjadikan klub-klub sepakbola menjadi tidak mempunyai kemerdekaan alias rawan akan praktek-praktek politik praktis. Sepakbola lengkap beserta para pendukungnya adalah sebuah kekuatan masa yang sangat masif, yang sanggup menjadikan semuanya terjadi, apabila sudah ditunggangi oleh kepentingan politik sesaat. Efek jangka panjangnya, tentu saja jangan berharap prestasi yang maksimal bisa dicapai, melalui pola pengelolaan semacam ini.


Adanya pencampur-adukan kepentingan politik dalam pengelolaan sepakbola profesional di tanah air tidak bisa dilepaskan begitu saja dari 'dosa kesalahan' pengurus PSSI di masa lampau. Kita ketahui bahwa pada tahun 1994, PSSI memutuskan untuk melebur kompetisi antara dua kubu pembinaan sepakbola kala itu: klub-klub perserikatan (amatir) yang tergabung dalam kompetisi divisi utama dan klub-klub (semi) profesional yang tergabung dalam kompetisi galatama, dilebur menjadi satu dalam bentuk kompetisi LIGINA.

Suatu proses pembinaan adalah suatu proses yang berjenjang dan mengarak ke satu tujuan. Untuk sebuah proses pembinaan yang berjenjang, klub-klub (semi) profesional semacam Niac Mitra (Mitra Surabaya), Warna Agung, Yanita Utama, Pardedetex dan sebagainya, adalah muara tujuan bagi pemain sepakbola di klub-klub perserikatan. Bisa diibaratkan, klub perserikatan adalah SMU nya pemain bola, sedangkan klub (semi) profesional adalah universitasnya para pemain bola. Sebagai siswa SMU, tentu masih menggantungkan uang saku sepenuhnya dari sang orang tua, namun seorang mahasiswa, sudah mempunyai kemampuan untuk mencari pendapatannya sendiri dengan bekerja sambilan, sebagai pengajar privat misalnya. Anggapan umum pun berlaku bahwa setiap siswa SMU, tentu ingin memasuki universitas, namun sebaliknya, seorang mahasiswa tentu enggan kalau diminta kembali ke bangku SMU. Hal seperti inilah yang sebaiknya terus dikembangkan pengurus PSSI kala itu. Sehingga kedua kubu pembinaan tersebut bisa saling mengisi dan menunjang. Keberadaan klub perserikatan diharapkan menjadi 'pabrik bahan baku pemain' bagi klub (semi) profesional. Dalam bahasa sehari-hari bisa dianalogikan: makin baik (favorit) sebuah SMU, tentu akan menghasilkan luaran yang sangat berkualitas sebagai masukan sebuah universitas. Ujung dari proses berjenjang ini tentu menaiknya kualitas timnas Indonesia.

Pengelola klub-klub (semi) profesional adalah para penggiat bisnis yang berusaha untuk menghidupkan klub nya secara mandiri dengan dukungan sponsor. Di lain pihak, klub-klub perserikatan semacam PERSEBAYA, PERSIJA, PERSIB dan PER-PER yang lain, sepenuhnya ditunjang pemerintah daerah dalam segi pendanaan (melalui APBD tentunya). Dengan dileburnya kedua macam sistem kompetisi yang 'beda mahzab' ini, tentu menimbulkan kerancuan. Ironisnya, sejak kali pertama LIGINA digulirkan pada periode 1995 sampai dengan periode kompetisi kali ini (15 tahun berjalan), masih banyak ditemukan klub-klub yang menggantungkan dana APBD sebagai pemasukan utamanya, dimana hal ini jelas menyalahi aturan yang ada. Sungguh tidak sesuai dengan label 'profesional' yang melekat pada kompetisi Liga Indonesia saat ini. Dengan masih adanya unsur APBD untuk pembiayaan klub sepakbola saat ini, tentu menjadikan klub tersebut rawan akan campur tangan politik penguasa dan tentu saja, menjadikan klub tersebut tidak layak untuk disebut sebagai klub profesional. Hal ini pula lah yang kemungkinan besar menjadi penyebab tidak kunjung membaiknya prestasi tim nasional Indonesia di level ASEAN sekali pun. Sebagai gambaran perbandingan (yang mungkin kurang relevan), Jepang memulai memutar liga profesional nya pada tahun 1992, dengan kesungguhan penuh berhasil menembus babak 16 besar pada piala dunia tahun 2002, sebelum akhirnya dikandaskan Turki (0-1).

Lupakan 'dosa masa lalu' pengurus PSSI ini, marilah kita anggap bahwa apa yang ada saat ini, adalah sebuah permulaan untuk menuju perbaikan prestasi. PERSEBAYA adalah salah satu klub yang sedang mengikuti kompetisi sepakbola profesional dengan label Liga Indonesia. Munculnya FP, pria yang dilahirkan 40 tahun yang lalu ini, sebagai kandidat walikota Surabaya, sangat penulis harapkan bisa membebaskan PERSEBAYA dari segala macam praktek politik praktis dan menjadikan PERSEBAYA sebagai proyek percontohan di Indonesia tentang bagaimana sebaiknya klub sepakbola profesional dikelola. Melalui jalur independen, tentu FP akan lebih leluasa memberikan sentuhan kebebasan kepada PERSEBAYA dan menjadikan PERSEBAYA sebagai titik balik kebangkitan persepakbolaan Surabaya.
Kebangkitan persepakbolaan Surabaya hanya dapat diraih melalui pembinaan berjenjang yang terstruktur dan terprogram secara rapi. Metode 'jual-beli pemain' hendaknyalah dijadikan sebagai menu tambahan. Apabila PERSEBAYA benar menjelma menjadi klub profesional, maka tidaklah terlalu sulit untuk mencari bibit pemain. Kompetisi antar klub anggota PERSEBAYA (Assyabab, Indonesia Muda, Sasana Bhakti, Suryanaga, dsb nya) yang ada selama ini bisa dijadikan suatu awalan. Adalah kewenangan FP melalui dinas olar-raga, apabila terpilih menjadi walikota nantinya, untuk mendelegasikan kewenangan pengurusan klub anggota PERSEBAYA secara lebih terstruktur yang tentunya, sudah bebas dari campur tangan PERSEBAYA pula (posisi PERSEBAYA saat itu adalah sebagai klub yang benar-benar profesional). Selain itu, terpilihnya FP, sangat diharapkan untuk bisa kembali menghidupkan ajang kompetisi amatir semacam PORSENI, Liga Mahasiswa ataupun GALA KARYA, menjadi salah satu sarana pencetak bibit pemain sepakbola handal. Momentum hari olahraga nasional (HAORNAS), yang jatuh pada tanggal 9 September, juga bisa digunakan sebagai salah satu sarana pemicu.

Tidaklah terlalu berlebihan apabila kita berkeinginan untuk menjadikan PERSEBAYA sebagai proyek percontohan pengelolaan sepakbola profesional di Indonesia. Sejarah sepakbola Indonesia mencatat bahwa di kota Surabaya, pernah lahir sebuah klub sepak bola profesional ber-reputasi internasional. Niac Mitra nama klub tersebut. Klub yang dimiliki oleh Agustinus Wenas ini pernah mencatatkan diri sebagai juara Aga Khan Cup di Bangladesh pada tahun 1979, di bawah arahan pelatih M. Basri. Bahkan Dullah Rahim tercatat sebagai pemain terbaik dalam turnamen tersebut. Di kancah domestik, Niac Mitra juga pernah mencatatkan sebagai juara galatama dalam tiga periode kompetisi. Pada tanggal 17 Juni 1983, Niac Mitra bersama Fandi Ahmad dan David Lee (keduanya pemain asal Singapura) membelalakkan mata penggemar sepakbola di tanah air. Saat itu, Niac Mitra menjadi satu-satunya tim yang berhasil mengkandaskan Arsenal (yang kala itu diperkuat Alan Sunderland) dalam lawatannya ke Indonesia. Dua gol yang dilesakkan Fandi Ahmad dan Djoko Malis membuat banyak pengamat sepakbola Indonesia menganggap bahwa Niac Mitra jauh lebih hebat dari tim nasional Indonesia sekali pun.

Rasanya FP tidak perlu ragu lagi, untuk memasang target menjadikan PERSEBAYA sebagai yang terbaik di Indonesia (bahkan dunia). Sejarah panjang sepakbola Surabaya juga pernah mencatat nama-nama semacam Chin Hoat (pesepakbola Surabaya keturunan Tionghoa) menjadi andalan tim nasional Hindia Belanda (NIVB) di Olimpiade Timur Jauh di Manila tahun 1934. Bahkan, nama-nama seperti The San Liong, Beng Ing Hien dan Phoa Sian Liong (kesemuanya warga Surabaya dan pesepakbola keturunan Tionghoa) pernah menjadi pemain timnas Indonesia ketika menahan Uni Soviet 0-0 di babak perempat final olimpiade 1956 di Melbourne (http://sejarahtakberubah.blogspot.com).

Selain menyuratkan gemilangnya prestasi pesepakbola Surabaya di masa lampau, dimana saudara keturunan Tionghoa ikut berperan aktif di dalamnya, paragraf di atas juga menyiratkan betapa majemuk nya persepakbolaan Surabaya kala itu. Seakan-akan tidak ada perbedaan dalam semua hal antara warga asli dan warga keturunan untuk bersama-sama berjuang membesarkan nama Surabaya melalui jalur sepakbola.

Penulis juga sangat berharap bahwa FP, yang juga dikenal sebagai sosok pengagum bapak pluralisme Indonesia- Gus Dur, bisa kembali mewujudkan peran serta aktif warga keturunan dalam membesarkan nama PERSEBAYA. Penulis pun sangat yakin akan potensi besar yang ada pada diri saudara kita, warga keturunan Tionghoa, dalam bidang olah raga. Paling tidak, Surabaya mencatatkan nama warganya Goei Ren Fang (atau dikenal sebagai Alan Budikusuma), sebagai peraih medali emas olimpiade untuk cabang bulu tangkis. Penulis sangat yakin, bahwa sosok FP, akan mampu menghilangkan perbedaan antara pribumi dan non-pribumi yang kerap masih dirasakan dalam berbagai sendi kehidupan, utamanya dalam persepakbolaan. Sehingga, semangat dari kampanye FIFA, let’s kick racism out of Football, bisa benar-benar dirasakan. Saat ini, kita masih merasakan (berdasarkan pengalaman pribadi penulis) ketika pertandingan sepakbola akan digelar di Stadion Tambaksari, banyak saudara kita warga Tionghoa yang berada di sekitar stadion, terpaksa menutup tokonya jauh lebih awal, karena merasa keamanan jiwa dan harta-bendanya terancam. Semoga, dengan terpilihnya FP, hal ini tidak lagi terjadi.

Demikian, tulisan sederhana ini penulis buat sebagai ungkapan atas harapan tinggi penulis akan terpilihnya FP sebagai walikota Surabaya. Sebagai salah satu warga Surabaya, penulis sangat berharap agar nantinya FP (jika terpilih) bisa tetap berjalan di jalur rakyat serta mampu mewujudkan impian “PERSEBAYA towards world-class quality”

1 Arek Tambaksari.
2 Research fellow at the Disaster Prevention Research Institute, Kyoto University, Japan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar