Minggu, 14 Maret 2010

Bermodal Rp 400 Juta, Berhasil Kumpulkan 90.030 KTP

Awalnya banyak orang tidak percaya pemilihan wali kota (Pilwali) Surabaya akan menyertakan calon dari perseorangan. Sebab, mereka yang ingin mencalonkan lewat jalur ini harus bisa mengumpulkan dukungan tak sedikit, minimal 88.090 dukungan.
Fitradjaja Purnama, Calon Independen Pilwali Surabaya yang Lolos Verifikasi
SURABAYA- SURYA- Di tengah keraguan itu, pasangan Fitra-Naen (Fitradjaja Purnama-Naen Suryono) membuat kejutan. Pasangan ini dinyatakan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Surabaya lolos verifikasi sebagai calon perseorangan (independen).
Mereka menjadi satu-satunya calon perseorangan yang ikut meramaikan Pilwali Surabaya. Satu calon lain yang ikut jalur ini terpental, yakni pasangan Alisjahbana-Chrisman Hadi. Sedangkan Muhammad Sholeh yang sudah memasang baliho dan spanduk di pojok-pojok kota sejak awal akhirnya mundur dan pindah medan perjuangan ke luar Surabaya.
Lolosnya Fitra tidak lepas dari aktivitasnya di masa lalu. Aktivis prodemokrasi (Prodem) ini tidak bekerja sendiri dalam mencari dukungan warga Surabaya. Di bawah bayang-bayang bukan warga asli Surabaya, Fitra berharap pada kawan-kawannya yang senasib seperjuangan di organ Konsolidasi Arek Suroboyo untuk mencarikan dukungan. Walhasil, pria kelahiran Banyuwangi, 39 tahun lalu itu pun lolos verifikasi.
Perjuangan Fitra bersama kawan-kawannya di dunia demokrasi bukan hal baru. Ia sudah aktif sejak lama, tepatnya sejak awal 1990-an. Pergulatan untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia ini ia awali dengan mendirikan berbagai organ untuk aktivis prodem. Itulah dunia Fitra sebenarnya.
Patutnya, dunia demokrasi bukan hanya menjadi wacana yang hanya muncul di otak. Di samping mewacanakan itu, Fitra ikut terlibat dalam dunia pergerakan yang memberdayakan masyarakat. Alumnus Institut 10 Nopember Surabaya ini juga terlibat dalam pendampingan kepada partai yang baru lahir di era reformasi 1998 dalam pembahasan wacana demokrasi. Partai yang pernah didampingi tidak tanggung-tanggung, seperti PDIP, PKB, dan PAN.

“Dari pendampingan itu, saya mentransfer demokrasi kepada mereka, meskipun saya tidak pernah masuk dalam partai politik,” ujar Fitra saat bertandang ke Redaksi Harian Surya bersama kawan-kawannya, Kamis (11/3) malam.
Selain mendampingi aktivis parpol, Fitra juga berjasa besar kepada orang-orang kampung. Terutama, orang kampung yang terpinggirkan oleh para ‘penguasa’. Hal itu diwujudkan dalam pendampingan terhadap rakyat yang tanahnya terkena kasus akibat permainan orang-orang yang tidak berhak memiliki. Dengan kedekatan kepada mereka itulah, kini `investasi` itu dipetik sekarang. Orang yang pernah ditolongnya, sekarang sukarela memberikan dukungan sebagai calon independen wali kota Surabaya.
“Kami tidak memberikan sepeser pun uang kepada orang yang memberikan dukungan. Mereka sukarela memberikan KTP-nya untuk memberikan dukungan kepada kami. Sistem yang kami lakukan untuk mencari dukungan, yaitu minta bantuan kepada orang yang dipercaya di komunitas itu,” kata aktivis Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) ini.
Aktivitas Fitra sebenarnya sudah belasan tahun. “Saya pernah juga disebut sebagai aktivis garis keras. Tapi, kami menamakan dengan nama aktivis prodem. Dan, calon perseorangan sudah saya kehendaki sejak awal tahun 1990-an lalu. Saya sendiri bahkan yang ikut menggagas calon perseorangan itu,” ujar pria beranak dua ini.
Tahun 1998, bersama organ Arek-arek Suroboyo Pro Reformasi, Fitra menjadi pemimpin aksi pendudukan terhadap Gedung Negara Grahadi, Gedung DPRD Kota Surabaya dan Kantor Radio Republik Indonesia (RRI). Saat itu, para aktivis lagi giat-giatnya ingin menggulingkan pemerintahan Soeharto.
Saat ganti rezim, Fitra juga ikut menggagas deklarasi Ciganjur. Yaitu, menyatukan kelompok-kelompok reformis, yang dipelopori almarhum Gus Dur, Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP), Amien Rais (Ketua MPP PAN) dan Sultan Hamengku Buwono X.
Pascareformasi, Fitra masih tetap ikut dalam pergerakan aktivis prodem ini. Tahun 2003, ia mendirikan Sekretariat Bersama untuk Demokrasi. Isinya, organisasi aktivis prodem dan organ pendampingan aktivis terhadap rakyat. “Sekarang sudah berjumlah 153 organ. Itu semua ada di Surabaya,” katanya.
Dengan terlibat di dunia pergerakan itu dan memiliki jaringan dan banyak kawan, Fitra tidak kesulitan mencari dukungan untuk mendaftar sebagai calon perseorangan Pilwali Surabaya hingga mendapatkan 90.030 dukungan.
Fitra yang sekarang juga menjadi pengusaha publishing dan advertaising itu hanya bermodal uang 400 juta untuk operasional kawan-kawannya dalam mencari dukungan. Uang sebesar itu tidak sebanding dengan calon yang maju lewat tiket partai politik yang bisa menghabiskan uang miliaran rupiah. IKSAN FAUZI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

®;

Bermodal Rp 400 Juta, Berhasil Kumpulkan 90.030 KTP

Awalnya banyak orang tidak percaya pemilihan wali kota (Pilwali) Surabaya akan menyertakan calon dari perseorangan. Sebab, mereka yang ingin mencalonkan lewat jalur ini harus bisa mengumpulkan dukungan tak sedikit, minimal 88.090 dukungan.
Fitradjaja Purnama, Calon Independen Pilwali Surabaya yang Lolos Verifikasi
SURABAYA- SURYA- Di tengah keraguan itu, pasangan Fitra-Naen (Fitradjaja Purnama-Naen Suryono) membuat kejutan. Pasangan ini dinyatakan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Surabaya lolos verifikasi sebagai calon perseorangan (independen).
Mereka menjadi satu-satunya calon perseorangan yang ikut meramaikan Pilwali Surabaya. Satu calon lain yang ikut jalur ini terpental, yakni pasangan Alisjahbana-Chrisman Hadi. Sedangkan Muhammad Sholeh yang sudah memasang baliho dan spanduk di pojok-pojok kota sejak awal akhirnya mundur dan pindah medan perjuangan ke luar Surabaya.
Lolosnya Fitra tidak lepas dari aktivitasnya di masa lalu. Aktivis prodemokrasi (Prodem) ini tidak bekerja sendiri dalam mencari dukungan warga Surabaya. Di bawah bayang-bayang bukan warga asli Surabaya, Fitra berharap pada kawan-kawannya yang senasib seperjuangan di organ Konsolidasi Arek Suroboyo untuk mencarikan dukungan. Walhasil, pria kelahiran Banyuwangi, 39 tahun lalu itu pun lolos verifikasi.
Perjuangan Fitra bersama kawan-kawannya di dunia demokrasi bukan hal baru. Ia sudah aktif sejak lama, tepatnya sejak awal 1990-an. Pergulatan untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia ini ia awali dengan mendirikan berbagai organ untuk aktivis prodem. Itulah dunia Fitra sebenarnya.
Patutnya, dunia demokrasi bukan hanya menjadi wacana yang hanya muncul di otak. Di samping mewacanakan itu, Fitra ikut terlibat dalam dunia pergerakan yang memberdayakan masyarakat. Alumnus Institut 10 Nopember Surabaya ini juga terlibat dalam pendampingan kepada partai yang baru lahir di era reformasi 1998 dalam pembahasan wacana demokrasi. Partai yang pernah didampingi tidak tanggung-tanggung, seperti PDIP, PKB, dan PAN.

“Dari pendampingan itu, saya mentransfer demokrasi kepada mereka, meskipun saya tidak pernah masuk dalam partai politik,” ujar Fitra saat bertandang ke Redaksi Harian Surya bersama kawan-kawannya, Kamis (11/3) malam.
Selain mendampingi aktivis parpol, Fitra juga berjasa besar kepada orang-orang kampung. Terutama, orang kampung yang terpinggirkan oleh para ‘penguasa’. Hal itu diwujudkan dalam pendampingan terhadap rakyat yang tanahnya terkena kasus akibat permainan orang-orang yang tidak berhak memiliki. Dengan kedekatan kepada mereka itulah, kini `investasi` itu dipetik sekarang. Orang yang pernah ditolongnya, sekarang sukarela memberikan dukungan sebagai calon independen wali kota Surabaya.
“Kami tidak memberikan sepeser pun uang kepada orang yang memberikan dukungan. Mereka sukarela memberikan KTP-nya untuk memberikan dukungan kepada kami. Sistem yang kami lakukan untuk mencari dukungan, yaitu minta bantuan kepada orang yang dipercaya di komunitas itu,” kata aktivis Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) ini.
Aktivitas Fitra sebenarnya sudah belasan tahun. “Saya pernah juga disebut sebagai aktivis garis keras. Tapi, kami menamakan dengan nama aktivis prodem. Dan, calon perseorangan sudah saya kehendaki sejak awal tahun 1990-an lalu. Saya sendiri bahkan yang ikut menggagas calon perseorangan itu,” ujar pria beranak dua ini.
Tahun 1998, bersama organ Arek-arek Suroboyo Pro Reformasi, Fitra menjadi pemimpin aksi pendudukan terhadap Gedung Negara Grahadi, Gedung DPRD Kota Surabaya dan Kantor Radio Republik Indonesia (RRI). Saat itu, para aktivis lagi giat-giatnya ingin menggulingkan pemerintahan Soeharto.
Saat ganti rezim, Fitra juga ikut menggagas deklarasi Ciganjur. Yaitu, menyatukan kelompok-kelompok reformis, yang dipelopori almarhum Gus Dur, Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP), Amien Rais (Ketua MPP PAN) dan Sultan Hamengku Buwono X.
Pascareformasi, Fitra masih tetap ikut dalam pergerakan aktivis prodem ini. Tahun 2003, ia mendirikan Sekretariat Bersama untuk Demokrasi. Isinya, organisasi aktivis prodem dan organ pendampingan aktivis terhadap rakyat. “Sekarang sudah berjumlah 153 organ. Itu semua ada di Surabaya,” katanya.
Dengan terlibat di dunia pergerakan itu dan memiliki jaringan dan banyak kawan, Fitra tidak kesulitan mencari dukungan untuk mendaftar sebagai calon perseorangan Pilwali Surabaya hingga mendapatkan 90.030 dukungan.
Fitra yang sekarang juga menjadi pengusaha publishing dan advertaising itu hanya bermodal uang 400 juta untuk operasional kawan-kawannya dalam mencari dukungan. Uang sebesar itu tidak sebanding dengan calon yang maju lewat tiket partai politik yang bisa menghabiskan uang miliaran rupiah. IKSAN FAUZI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar