Jumat, 19 Maret 2010

Surat Terbuka untuk Fitrajaya

Pengantar:
Ini tulisan dari seorang kawan, yang sekarang sedang studi di Urbana, IL, untuk memberi dukungan pada kawan yang sekarang maju sebagai Calon Walikota Surabaya, dari Jalur Perseorangan (Independen). Kawan itu adalah Fitrajaya, aktivis 90-an, yang dulu tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI).
————-
Surat Terbuka Untuk Fitrajaya *
By Andi Irawan Today at 1:16pm

‘Tra, selamat yo! Awak gak kaget, wis kudune, wis wayahe!
Sebagian mungkin sedang mengelu-elukanmu sebagai “from zero to hero”. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap mereka yang tulus memberikan penghargaan itu padamu, menurutku atribut itu (dapat) menyesatkan. Aku punya dua alasan.
Pertama, jalan yang pernah kita tempuh telah menancapkan suatu anti-hero attitude di benak kita sebagai suatu kesadaran. Satu-satunya lakon atau hero dalam gerakan pro-demokrasi dan reformasi adalah rakyat! Masih ingat prinsip ini ‘kan? Kita sering mendiskusikannya di warkop pinggir jalan,di kantin, lorong, dan parkiran berbagai kampus di Surabaya dan kota-kota lainnya, di rumah Bratang, serta di rumah Klampis. Kita juga mempercayainya sebagai pendekatan dalam pendampingan dan advokasi. Kita memupuknya sebagai suatu metode anti elitisme, menolak tunduk pada oligarki politik, mendorong inklusifitas dan partisipasi, serta menjaga akal sehat. Aku percaya, kamu masih menghayatinya. Bukankah kamu saat ini bisa menjadi Cawali tanpa perlu menghiba tiket dari parpol karena didukung ratusan elemen dan komunitas masyarakat yang tergabung dalam Konsolidasi Arek Suroboyo (KAS)? Aku yakin, bagimu, atribut di atas lebih tepat dialamatkan ke mereka.

 
Kedua, jika personifikasi kepahlawanan kolektif warga itu dilekatkan padamu, istilah “from zero to hero” tetap kurang presisi. Bagi semua yang pernah berinteraksi dengan kamu atau kamu dampingi- kawan lama, masyarakat daerah kasus, musibah, dan sengketa, kelompok-kelompok yang pernah teraniya rejim Orde Baru (termasuk didalamnya mereka yang saat ini jadi petinggi-petinggi parpol), komunitas-komunitas pencerahan melalui media keilmuan, kewirausahaan, kebudayaan, dan keagamaan – saya kira akan menyebutmu a long time hero. Warga biasa, bekas mahasiswa yang kumus-kumus, namun tidak takut berpikir besar dan memberinya kaki supaya bisa berjalan, melakukan ketidaklaziman, melawan kemustahilan, bahkan siap ‘membayar’ mahal dalam memperjuangkan gagasan. Those are traits of a hero! Jadi, istilah yang lebih pas untuk kamu adalah “from a hero to a greater hero”.
Setelah resmi tercatat sebagai Cawali dari calon independen, tantangan dan godaannya nya tentu lebih besar. Kalau kamu bisa mengatasinya dengan baik, bagiku, kamu sudah menjadi a greater hero, meski mungkin nanti kalah. Aku pikir, godaan pertama yang mungkin akan segera kamu hadapi adalah usaha untuk membelimu: dengan tunai atau dengan menghembuskan angin surga untuk nanti mendapat konsesi-konsesi proyek-proyek pasca Pilwali!
Sudah jamak, sebuah usaha kecil dengan gagasan besar ala hi-tech start-up yang berprospek, sudah pasti akan dilirik oleh perusahaan besar. Jika kamu berhenti sekarang sebelum berjuang mati-matian sampai peluit panjang dibunyikan, apalagi kalau hanya karena memilih untuk “mengijonkan sawah”, menggadaikan prospek dan potensi karena jerih pada ketidakpastian, tentu ini akan mengecewakan banyak ketulusan dukungan. Tapi aku percaya, kamu mampu mengamankan dirimu dan lingkaran sukarelawan yang saat ini bertarung di gelanggang pertempuran (Salam kangen dan respek untuk Muhaji, Gunardi, Sefdin, Wawan Kemplo, dan yang lain-lain).
Kalau nanti benar-benar jadi Walikota, harapan masyarakat tentu juga akan lebih besar. Apalah artinya sebutan Walikota dari jalur independen kalau kualitas penabdirannya, orientasi pembangunannya, dan moral kepemimpinan politiknya tidak lebih bagus? Jika kamu bisa, atribut a greater hero tentu juga akan dialamatkan ke kamu (meski aku tahu, kamu tidak peduli soal ini). Di tangan walikota independen, dinamika ekonomi dan kualitas multi dimensi hidup warga, harus lebih baik.
Kriwul, ente memang bonek! Ngluruk tanpo bondo!
Sebagian lagi mungkin saat ini sedang mencibirmu sebagai Don Quixote! Tenang saja, tidak perlu marah, tidak perlu sakit hati. Sarkasme semacam itu hanya muncul dari mereka yang merasa terganggu hegemoninya. Karena pongahnya, tidak sadar bahwa rakyat tidak buta, lantas kaget ketika otoritasnya digoyang oleh gerakan warga. Buruk rupa, dicermin dibelah. Karena cerminnya buram, kamulah yang di-Don Quixote-kan! :)
Bagiku jelas kamu beda dengan Don Quixote. Dia mencari glory dan grand adventure, sedangkan kamu adalah aktor yang dipilih untuk meneruskan pencapaian cita-cita kolektif. Ingat bukan, sejak 1992, saat Suharto masih ngangkangin Indonesia, mahasiswa Surabaya secara terbuka telah menyatakan menolak budaya calon tunggal pada pemilihan presiden. Dalam skala kota, saat ini, KAS mampu menjaganya dan memberi pemaknaan baru pada aspirasi itu. Tidak seperti laiknya parpol yang meminta uang mahar, kamu lolos mekanisme fit and proper test KAS tanpa sepeser uang pun. Tidak seperti Don Quixote yang ganjen petualangan, KAS adalah harapan baru bagi kegelapan, kepengapan, dan keputus-asaan rakyat terhadap peran dan kinerja partai politik.
Mungkin saja yang men di-Don Quixote-kan kamu itu tidak pernah baca atau sengaja memungkiri kisah-kisah para Nabi yang harus diteladani: memperjuangkan perubahan! Mungkin saja mereka tidak pernah mengenal pemikiran besar Schumpeter tentang “creative destruction”.
Imitasi dan hinaan merupakan bentuk termurni dari sebuah pujian. Dengan dikatakan sebagai orang yang berusaha “melukis di air”, anggap saja itu sebagai pernyataan “Fitrajaya adalah Muhammad Yunus tanpa PhD, tanpa Nobel”. Hahaha, keren bukan?
Dalam satu ceramahnya yang sempat kuhadiri langsung, dia berbagi resep rahasia sukses Grameen Bank: “Ketika hendak mendirikan Grameen Bank, saya mengamati bagaimana bank-bank konvensional beroperasi. Setelah paham bagaimana mereka bekerja, yang saya lakukan untuk Grameen Bank adalah kebalikan dari semua yang dilakukan oleh bank-bank konvensional itu!” Yang KAS lakukan adalah kebalikan dari parpol. Suatu pendekatan yang sama seperti yang dilakukan Muhammad Yunus.
Maju terus kawan! Semoga yang dilangit memilihmu, dan yang dibumi mendukungmu!
Best,
Andi Irawan
University of Illinois at Urbana-Champaign

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

®;

Surat Terbuka untuk Fitrajaya

Pengantar:
Ini tulisan dari seorang kawan, yang sekarang sedang studi di Urbana, IL, untuk memberi dukungan pada kawan yang sekarang maju sebagai Calon Walikota Surabaya, dari Jalur Perseorangan (Independen). Kawan itu adalah Fitrajaya, aktivis 90-an, yang dulu tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI).
————-
Surat Terbuka Untuk Fitrajaya *
By Andi Irawan Today at 1:16pm

‘Tra, selamat yo! Awak gak kaget, wis kudune, wis wayahe!
Sebagian mungkin sedang mengelu-elukanmu sebagai “from zero to hero”. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap mereka yang tulus memberikan penghargaan itu padamu, menurutku atribut itu (dapat) menyesatkan. Aku punya dua alasan.
Pertama, jalan yang pernah kita tempuh telah menancapkan suatu anti-hero attitude di benak kita sebagai suatu kesadaran. Satu-satunya lakon atau hero dalam gerakan pro-demokrasi dan reformasi adalah rakyat! Masih ingat prinsip ini ‘kan? Kita sering mendiskusikannya di warkop pinggir jalan,di kantin, lorong, dan parkiran berbagai kampus di Surabaya dan kota-kota lainnya, di rumah Bratang, serta di rumah Klampis. Kita juga mempercayainya sebagai pendekatan dalam pendampingan dan advokasi. Kita memupuknya sebagai suatu metode anti elitisme, menolak tunduk pada oligarki politik, mendorong inklusifitas dan partisipasi, serta menjaga akal sehat. Aku percaya, kamu masih menghayatinya. Bukankah kamu saat ini bisa menjadi Cawali tanpa perlu menghiba tiket dari parpol karena didukung ratusan elemen dan komunitas masyarakat yang tergabung dalam Konsolidasi Arek Suroboyo (KAS)? Aku yakin, bagimu, atribut di atas lebih tepat dialamatkan ke mereka.

 
Kedua, jika personifikasi kepahlawanan kolektif warga itu dilekatkan padamu, istilah “from zero to hero” tetap kurang presisi. Bagi semua yang pernah berinteraksi dengan kamu atau kamu dampingi- kawan lama, masyarakat daerah kasus, musibah, dan sengketa, kelompok-kelompok yang pernah teraniya rejim Orde Baru (termasuk didalamnya mereka yang saat ini jadi petinggi-petinggi parpol), komunitas-komunitas pencerahan melalui media keilmuan, kewirausahaan, kebudayaan, dan keagamaan – saya kira akan menyebutmu a long time hero. Warga biasa, bekas mahasiswa yang kumus-kumus, namun tidak takut berpikir besar dan memberinya kaki supaya bisa berjalan, melakukan ketidaklaziman, melawan kemustahilan, bahkan siap ‘membayar’ mahal dalam memperjuangkan gagasan. Those are traits of a hero! Jadi, istilah yang lebih pas untuk kamu adalah “from a hero to a greater hero”.
Setelah resmi tercatat sebagai Cawali dari calon independen, tantangan dan godaannya nya tentu lebih besar. Kalau kamu bisa mengatasinya dengan baik, bagiku, kamu sudah menjadi a greater hero, meski mungkin nanti kalah. Aku pikir, godaan pertama yang mungkin akan segera kamu hadapi adalah usaha untuk membelimu: dengan tunai atau dengan menghembuskan angin surga untuk nanti mendapat konsesi-konsesi proyek-proyek pasca Pilwali!
Sudah jamak, sebuah usaha kecil dengan gagasan besar ala hi-tech start-up yang berprospek, sudah pasti akan dilirik oleh perusahaan besar. Jika kamu berhenti sekarang sebelum berjuang mati-matian sampai peluit panjang dibunyikan, apalagi kalau hanya karena memilih untuk “mengijonkan sawah”, menggadaikan prospek dan potensi karena jerih pada ketidakpastian, tentu ini akan mengecewakan banyak ketulusan dukungan. Tapi aku percaya, kamu mampu mengamankan dirimu dan lingkaran sukarelawan yang saat ini bertarung di gelanggang pertempuran (Salam kangen dan respek untuk Muhaji, Gunardi, Sefdin, Wawan Kemplo, dan yang lain-lain).
Kalau nanti benar-benar jadi Walikota, harapan masyarakat tentu juga akan lebih besar. Apalah artinya sebutan Walikota dari jalur independen kalau kualitas penabdirannya, orientasi pembangunannya, dan moral kepemimpinan politiknya tidak lebih bagus? Jika kamu bisa, atribut a greater hero tentu juga akan dialamatkan ke kamu (meski aku tahu, kamu tidak peduli soal ini). Di tangan walikota independen, dinamika ekonomi dan kualitas multi dimensi hidup warga, harus lebih baik.
Kriwul, ente memang bonek! Ngluruk tanpo bondo!
Sebagian lagi mungkin saat ini sedang mencibirmu sebagai Don Quixote! Tenang saja, tidak perlu marah, tidak perlu sakit hati. Sarkasme semacam itu hanya muncul dari mereka yang merasa terganggu hegemoninya. Karena pongahnya, tidak sadar bahwa rakyat tidak buta, lantas kaget ketika otoritasnya digoyang oleh gerakan warga. Buruk rupa, dicermin dibelah. Karena cerminnya buram, kamulah yang di-Don Quixote-kan! :)
Bagiku jelas kamu beda dengan Don Quixote. Dia mencari glory dan grand adventure, sedangkan kamu adalah aktor yang dipilih untuk meneruskan pencapaian cita-cita kolektif. Ingat bukan, sejak 1992, saat Suharto masih ngangkangin Indonesia, mahasiswa Surabaya secara terbuka telah menyatakan menolak budaya calon tunggal pada pemilihan presiden. Dalam skala kota, saat ini, KAS mampu menjaganya dan memberi pemaknaan baru pada aspirasi itu. Tidak seperti laiknya parpol yang meminta uang mahar, kamu lolos mekanisme fit and proper test KAS tanpa sepeser uang pun. Tidak seperti Don Quixote yang ganjen petualangan, KAS adalah harapan baru bagi kegelapan, kepengapan, dan keputus-asaan rakyat terhadap peran dan kinerja partai politik.
Mungkin saja yang men di-Don Quixote-kan kamu itu tidak pernah baca atau sengaja memungkiri kisah-kisah para Nabi yang harus diteladani: memperjuangkan perubahan! Mungkin saja mereka tidak pernah mengenal pemikiran besar Schumpeter tentang “creative destruction”.
Imitasi dan hinaan merupakan bentuk termurni dari sebuah pujian. Dengan dikatakan sebagai orang yang berusaha “melukis di air”, anggap saja itu sebagai pernyataan “Fitrajaya adalah Muhammad Yunus tanpa PhD, tanpa Nobel”. Hahaha, keren bukan?
Dalam satu ceramahnya yang sempat kuhadiri langsung, dia berbagi resep rahasia sukses Grameen Bank: “Ketika hendak mendirikan Grameen Bank, saya mengamati bagaimana bank-bank konvensional beroperasi. Setelah paham bagaimana mereka bekerja, yang saya lakukan untuk Grameen Bank adalah kebalikan dari semua yang dilakukan oleh bank-bank konvensional itu!” Yang KAS lakukan adalah kebalikan dari parpol. Suatu pendekatan yang sama seperti yang dilakukan Muhammad Yunus.
Maju terus kawan! Semoga yang dilangit memilihmu, dan yang dibumi mendukungmu!
Best,
Andi Irawan
University of Illinois at Urbana-Champaign

Tidak ada komentar:

Posting Komentar